Fatwa MUI soal BBM Bisa Jadi Masalah
JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah perlu mengatur terlebih dahulu bagaimana mekanisme pengendalian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi berikut dengan sanksi-sanksinya. Setelah itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dapat membantu sosialisasi pengaturan tersebut tanpa perlu mengeluarkan fatwa.
Hal tersebut disampaikan anggota komisi VII DPR Satya Widya Yudha kepada Kompas.com sebagai tanggapan dari adanya wacana pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, yang menggandeng MUI dalam mengoptimalkan penggunaan BBM bersubsidi agar tepat sasaran, di Jakarta, Kamis (30/6/2011).
"Jika mengeluarkan fatwa nanti jadi masalah," ungkap Satya. Hal yang jadi masalah, yaitu bagaimana mengategorikan orang yang mampu dan tidak mampu. "Habis itu akan muncul lagi kenapa yang diatur cuma BBM saja. Bahkan seperti orang yang mau beli obat generik, bisa juga difatwakan akan haram kalau dibeli orang mampu. Kan, jadi repot," tambahnya.
Satya mengungkapkan, Indonesia sebetulnya tidak diatur oleh hukum-hukum (fatwa) itu. Harus dikembalikan bahwa pemerintah yang mengeluarkan peraturan terkait subsidi ini. "Apabila itu (peraturan) sudah dikeluarkan dan sudah matang, baru nanti MUI dilibatkan untuk sosialisasi," jawabnya.
Oleh karena itu, ia pun berpendapat bahwa suatu kesalahan jika dengan mengeluarkan fatwa itu sebagai langkah yang efektif dalam mengoptimalkan penggunaan BBM nonsubsidi bagi masyarakat yang mampu.
"Kalau pemerintah berharap bahwa dengan fatwa itu akan efektif. Itu ada dua kesalahan. Pertama, tidak adanya sanksi atau hukum yang mengikat. Kedua, fatwa itu sendiri menjadi tidak berwibawa," tambahnya.
Mengenai subsidi BBM ini, Satya kembali menegaskan ada dua permasalahan yang harus diselesaikan pemerintah. Pertama, kenaikan minyak dunia yang berimbas pada naiknya anggaran subsidi BBM. Kedua, subsidi itu tidak tepat sasaran.
"Dua ini harus dikerjakan paling tidak salah satu. Menaikkan premium dulu. Lantas pengaturannya dikerjakan dari sekarang. Tapi diperlakukannya pada tahun 2012, kan, bisa. Action harus ada salah satu di antara dua itu," sebutnya.
Oleh sebab itu, ia pun menilai wacana dari Kementerian ESDM ini salah langkah. Mengingat subsidi BBM diatur dulu baru sosialisasi dengan menggandeng MUI. Namun, tanpa mekanisme fatwa.
(Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com)
Hal tersebut disampaikan anggota komisi VII DPR Satya Widya Yudha kepada Kompas.com sebagai tanggapan dari adanya wacana pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, yang menggandeng MUI dalam mengoptimalkan penggunaan BBM bersubsidi agar tepat sasaran, di Jakarta, Kamis (30/6/2011).
"Jika mengeluarkan fatwa nanti jadi masalah," ungkap Satya. Hal yang jadi masalah, yaitu bagaimana mengategorikan orang yang mampu dan tidak mampu. "Habis itu akan muncul lagi kenapa yang diatur cuma BBM saja. Bahkan seperti orang yang mau beli obat generik, bisa juga difatwakan akan haram kalau dibeli orang mampu. Kan, jadi repot," tambahnya.
Satya mengungkapkan, Indonesia sebetulnya tidak diatur oleh hukum-hukum (fatwa) itu. Harus dikembalikan bahwa pemerintah yang mengeluarkan peraturan terkait subsidi ini. "Apabila itu (peraturan) sudah dikeluarkan dan sudah matang, baru nanti MUI dilibatkan untuk sosialisasi," jawabnya.
Oleh karena itu, ia pun berpendapat bahwa suatu kesalahan jika dengan mengeluarkan fatwa itu sebagai langkah yang efektif dalam mengoptimalkan penggunaan BBM nonsubsidi bagi masyarakat yang mampu.
"Kalau pemerintah berharap bahwa dengan fatwa itu akan efektif. Itu ada dua kesalahan. Pertama, tidak adanya sanksi atau hukum yang mengikat. Kedua, fatwa itu sendiri menjadi tidak berwibawa," tambahnya.
Mengenai subsidi BBM ini, Satya kembali menegaskan ada dua permasalahan yang harus diselesaikan pemerintah. Pertama, kenaikan minyak dunia yang berimbas pada naiknya anggaran subsidi BBM. Kedua, subsidi itu tidak tepat sasaran.
"Dua ini harus dikerjakan paling tidak salah satu. Menaikkan premium dulu. Lantas pengaturannya dikerjakan dari sekarang. Tapi diperlakukannya pada tahun 2012, kan, bisa. Action harus ada salah satu di antara dua itu," sebutnya.
Oleh sebab itu, ia pun menilai wacana dari Kementerian ESDM ini salah langkah. Mengingat subsidi BBM diatur dulu baru sosialisasi dengan menggandeng MUI. Namun, tanpa mekanisme fatwa.
(Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com)