Korban Bom JW Marriott 1 Harapkan Bantuan
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah korban bom Hotel JW Marriott I, Kuningan, mengharapkan bantuan dari masyarakat untuk mengobati luka bakar dan luka lain yang membutuhkan perawatan jangka panjang, sehingga diperlukan dukungan dana dari berbagai pihak.
"Kami merasa perhatian masyarakat saat ini terhadap keberlanjutan pengobatan para korban bom mulai berkurang. Terlebih dari pemerintah," kata salah seorang korban bom Marriott I, Febby Firmansyah Isran yang juga sebagai Public Relation Asosiasi Korban Bom Terorisme di Indonesia (ASKOBI) saat memperingati Delapan Tahun Tragedi Marriott I, di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, para korban bom juga merasa bantuan pengobatan yang diterimanya dari beberapa pihak tidak lagi optimal, bahkan mereka terpaksa harus kehilangan harta benda untuk biaya pengobatan.
"Bantuan yang diberikan oleh pemerintah hanya sedikit. Pemerintah hanya menanggung biaya di rumah sakit saja, sementara proses perawatan di luar rumah sakit kami tanggung sendiri," kata Febby yang mengalami luka bakar di kedua tangannya akibat ledakan bom.
Ketua Umum ASKOBI, Wahyu Adiartono, mengatakan, UU terorisme yang ada hanya mengatur rehabilitasi terhadap pelaku terorisme, sementara rehabilitasi terhadap korban bom terorisme tidak diatur.
"Ini yang kami sayangkan. Rehabilitasi (pengobatan) terhadap korban bom terorisme tidak ada," katanya.
Menurut dia, pemerintah memang menanggung biaya pengobatan terhadap para korban bom, tetapi itu hanya saat korban berada di rumah sakit saja. Sementara untuk pengobatan rawat jalan bagi korban yang harus melalui pemeriksaan intensif tidak ada.
Akibatnya, para korban terpaksa harus menanggung biaya pengobatannya sendiri. Bahkan, ada korban yang meninggal akibat tidak menjalani pengobatan setelah keluar dari rumah sakit.
Ia menilai, perhatian pemerintah terhadap para korban masih kurang. Perhatian khusus, malah diberikan oleh Kedutaan Amerika Serikat dan Inggris untuk memberikan bantuan asalkan ada proposal. Mana perhatian pemerintah saat ini terhadap korban bom," kata Wahyu mempertanyakan.
Ia menambahkan, pihaknya akan segera mendatangi DPR untuk membicarakan masalah yang dikeluhkan oleh korban bom.
"Kami berharap ada perhatian yang serius dari pemerintah," ujarnya.
Selain masalah pengobatan, kata dia, hal memprihatinkan lainnya adalah terjadinya pemecatan terhadap korban dari pekerjaannya.
Mantan Jamaah Islamiyah, Nasir Abbas, menambahkan, setiap peringatan peristiwa bom perlu diekspos agar masyarakat menyadari bahwa ada sebagian masyarakat yang menjadi korban bom.
"Perlu ada kampanye dalam bentuk kegiatan sosial dari para korban bom ini. Dengan adanya kegiatan sosial ini, maka masyarakat akan memberikan sumbangan terhadap korban yang memerlukan pengobatan," tuturnya.
Dalam peringatan itu, juga diputar film mengenai kejadian bom Marriott I yang terjadi pada 5 Agustus 2003 lalu itu, yang telah menewaskan sekitar 14 orang dan 156 orang mengalami luka-luka.
(Sumber: http://id.berita.yahoo.com)
"Kami merasa perhatian masyarakat saat ini terhadap keberlanjutan pengobatan para korban bom mulai berkurang. Terlebih dari pemerintah," kata salah seorang korban bom Marriott I, Febby Firmansyah Isran yang juga sebagai Public Relation Asosiasi Korban Bom Terorisme di Indonesia (ASKOBI) saat memperingati Delapan Tahun Tragedi Marriott I, di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, para korban bom juga merasa bantuan pengobatan yang diterimanya dari beberapa pihak tidak lagi optimal, bahkan mereka terpaksa harus kehilangan harta benda untuk biaya pengobatan.
"Bantuan yang diberikan oleh pemerintah hanya sedikit. Pemerintah hanya menanggung biaya di rumah sakit saja, sementara proses perawatan di luar rumah sakit kami tanggung sendiri," kata Febby yang mengalami luka bakar di kedua tangannya akibat ledakan bom.
Ketua Umum ASKOBI, Wahyu Adiartono, mengatakan, UU terorisme yang ada hanya mengatur rehabilitasi terhadap pelaku terorisme, sementara rehabilitasi terhadap korban bom terorisme tidak diatur.
"Ini yang kami sayangkan. Rehabilitasi (pengobatan) terhadap korban bom terorisme tidak ada," katanya.
Menurut dia, pemerintah memang menanggung biaya pengobatan terhadap para korban bom, tetapi itu hanya saat korban berada di rumah sakit saja. Sementara untuk pengobatan rawat jalan bagi korban yang harus melalui pemeriksaan intensif tidak ada.
Akibatnya, para korban terpaksa harus menanggung biaya pengobatannya sendiri. Bahkan, ada korban yang meninggal akibat tidak menjalani pengobatan setelah keluar dari rumah sakit.
Ia menilai, perhatian pemerintah terhadap para korban masih kurang. Perhatian khusus, malah diberikan oleh Kedutaan Amerika Serikat dan Inggris untuk memberikan bantuan asalkan ada proposal. Mana perhatian pemerintah saat ini terhadap korban bom," kata Wahyu mempertanyakan.
Ia menambahkan, pihaknya akan segera mendatangi DPR untuk membicarakan masalah yang dikeluhkan oleh korban bom.
"Kami berharap ada perhatian yang serius dari pemerintah," ujarnya.
Selain masalah pengobatan, kata dia, hal memprihatinkan lainnya adalah terjadinya pemecatan terhadap korban dari pekerjaannya.
Mantan Jamaah Islamiyah, Nasir Abbas, menambahkan, setiap peringatan peristiwa bom perlu diekspos agar masyarakat menyadari bahwa ada sebagian masyarakat yang menjadi korban bom.
"Perlu ada kampanye dalam bentuk kegiatan sosial dari para korban bom ini. Dengan adanya kegiatan sosial ini, maka masyarakat akan memberikan sumbangan terhadap korban yang memerlukan pengobatan," tuturnya.
Dalam peringatan itu, juga diputar film mengenai kejadian bom Marriott I yang terjadi pada 5 Agustus 2003 lalu itu, yang telah menewaskan sekitar 14 orang dan 156 orang mengalami luka-luka.
(Sumber: http://id.berita.yahoo.com)