Kasus Munir Menggantung, Pemerintah Diam
JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota Komisi III DPR asal Fraksi PDI- Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, menyatakan, pemerintah memang menjadi kendala dalam penyelesaian kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib. Menurutnya, dalam kasus pembunuhan Munir, masih ada rantai yang terputus, tetapi masih dibiarkan.
"Tidak ada yang jelas siapa yang dihukum karena sejauh ini hanya Pollycarpus. Dan Polly pun dibawa ke peninjauan kembali (PK) karena data-data di pengadilan tidak membuktikan bahwa dia membunuhnya. Artinya pembunuhnya masih berkeliaran di sana," ujar Eva dalam acara peringatan tujuh tahun kematian Munir di Kantor Kontras, Jakarta, Rabu (7/9/2011).
Eva menuturkan, dalam menangani kasus tersebut, seharusnya beberapa alat penegak hukum pemerintah, seperti kepolisian, Mahkamah Agung, dan Kejaksaan Agung, dapat bertanggung jawab karena kasus tersebut belum tuntas hingga kini. Bahkan, menurut Eva, Komnas HAM juga seharusnya dapat melakukan supervisi saat polisi menangani dan mengembangkan kasus tersebut.
"Sebenarnya kita dibuat terkejut karena, kok, hanya Polly? Dan, menurut saya, tidak mungkinlah karena Poly tidak mempunyai kepentingan apa pun dengan Munir, kok. Kalau, toh, dia menjadi alat, lalu siapa otaknya? Itu yang menjadi PR pemerintah saat ini," kata Eva.
Lebih lanjut, Eva mengatakan, mengenai masalah pelanggaran HAM, Komisi III DPR sudah berkali-kali meminta agar Presiden mendirikan pengadilan HAM ad hoc. Ia mengatakan, jika tidak ada pengadilan HAM ad hoc, Kejaksaan Agung tidak akan menindaklanjuti hasil pengadilan investigasi Komnas HAM.
"Kalau Presiden tidak ngapa-ngapain yang tetap saja menggantung artinya dan tidak mampu menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM termasuk kasus Munir. Jadi, bukan DPR tidak sensitif, tetapi rekomendasi-rekomendasi itu dimentahkan saja oleh pemerintah. Saya sangat setuju kalau pemerintah belum bisa memberikan keadilan kepada Munir," tuturnya.
Munir meninggal di pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan dari Jakara ke Belanda pada 7 September 2004. Berdasarkan hasil otopsi yang dilakukan pihak berwenang Belanda, Munir diracun dengan arsenik. Dalam kasus itu, Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang ikut serta dalam penerbangan Munir ke Belanda, dihukum 20 tahun penjara karena terbukti terlibat melakukan pembunuhan berencana.
Selain Pollycarpus, Muchdi Purwoprandjono pun pernah didakwa menjadi aktor pembunuhan Munir. Namun, pengadilan hingga tingkat kasasi memvonis bebas mantan Deputi V Badan Intelijen Negara tersebut.
(Sumber: http://nasional.kompas.com)
"Tidak ada yang jelas siapa yang dihukum karena sejauh ini hanya Pollycarpus. Dan Polly pun dibawa ke peninjauan kembali (PK) karena data-data di pengadilan tidak membuktikan bahwa dia membunuhnya. Artinya pembunuhnya masih berkeliaran di sana," ujar Eva dalam acara peringatan tujuh tahun kematian Munir di Kantor Kontras, Jakarta, Rabu (7/9/2011).
Eva menuturkan, dalam menangani kasus tersebut, seharusnya beberapa alat penegak hukum pemerintah, seperti kepolisian, Mahkamah Agung, dan Kejaksaan Agung, dapat bertanggung jawab karena kasus tersebut belum tuntas hingga kini. Bahkan, menurut Eva, Komnas HAM juga seharusnya dapat melakukan supervisi saat polisi menangani dan mengembangkan kasus tersebut.
"Sebenarnya kita dibuat terkejut karena, kok, hanya Polly? Dan, menurut saya, tidak mungkinlah karena Poly tidak mempunyai kepentingan apa pun dengan Munir, kok. Kalau, toh, dia menjadi alat, lalu siapa otaknya? Itu yang menjadi PR pemerintah saat ini," kata Eva.
Lebih lanjut, Eva mengatakan, mengenai masalah pelanggaran HAM, Komisi III DPR sudah berkali-kali meminta agar Presiden mendirikan pengadilan HAM ad hoc. Ia mengatakan, jika tidak ada pengadilan HAM ad hoc, Kejaksaan Agung tidak akan menindaklanjuti hasil pengadilan investigasi Komnas HAM.
"Kalau Presiden tidak ngapa-ngapain yang tetap saja menggantung artinya dan tidak mampu menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM termasuk kasus Munir. Jadi, bukan DPR tidak sensitif, tetapi rekomendasi-rekomendasi itu dimentahkan saja oleh pemerintah. Saya sangat setuju kalau pemerintah belum bisa memberikan keadilan kepada Munir," tuturnya.
Munir meninggal di pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan dari Jakara ke Belanda pada 7 September 2004. Berdasarkan hasil otopsi yang dilakukan pihak berwenang Belanda, Munir diracun dengan arsenik. Dalam kasus itu, Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang ikut serta dalam penerbangan Munir ke Belanda, dihukum 20 tahun penjara karena terbukti terlibat melakukan pembunuhan berencana.
Selain Pollycarpus, Muchdi Purwoprandjono pun pernah didakwa menjadi aktor pembunuhan Munir. Namun, pengadilan hingga tingkat kasasi memvonis bebas mantan Deputi V Badan Intelijen Negara tersebut.
(Sumber: http://nasional.kompas.com)